Sabtu, 28 Juli 2007

DELAPAN ETOS by: Jansen H. Sinamo

TEORI MAXWELL TENTANG ELEKTROMAGNETIK dan DELAPAN ETOS [Oleh: Jansen H. Sinamo]

Di berbagai seminar dan pelatihan yang saya pimpin, selalu ada peserta yang bertanya: bagaimana ceritanya sampai saya tiba pada rumusan Delapan Etos Kerja Profesional. Kenapa tidak 7 etos, 10 etos, atau 12 etos misalnya. Berikut adalah kisah ringkasnya.

Sebagai penggemar komik Kho Ping Hoo sejak remaja, saya selalu tertarik untuk mengerti mengapa jago-jago silat tertentu menang atau kalah dalam sebuah pertempuran. Dan Kho Ping Hoo sangat ahli menjelaskannya. Jadi sudah merupakan kebiasaan, apabila saya membaca buku, pikiran saya langsung mencari mengapa seseorang, organisasi, atau bahkan negara bisa sukses atau gagal.

Sejak mahasiswa saya mulai menjadi kolektor buku, mula-mula buku teks fiska dan matematika, kemudian buku-buku umum seperti kebudayaan, sejarah, sastra, biografi, sosiologi, psikologi, teologi, etika, spiritualitas, filsafat, dan politik. Perpustakaan pribadi pun terbangun pelan-pelan. Makin ke belakang saya menggemari buku-buku manajemen dan kepemimpinan, bisnis, dan kiat-kiat sukses pada umumnya. Hal terakhir ini memfokus sejak saya terlibat dengan Dale Carnegie Training pada 1985 dan menjadi instruktur di lembaga itu sejak 1987. Seperti diketahui, Dale Carnegie adalah pionir dunia dalam pelatihan pengembangan diri yang memulai kursusnya tahun 1912 di New York.

Nah, sesudah membaca ribuan buku akhirnya saya bingung sendiri seperti orang yang kehilangan orientasi dalam belantara konsep-konsep sukses yang buat saya tampak tanpa juntrungan. Makin banyak buku saya kunyah, semakin gairah saya jadinya, tetapi pada saat yang sama makin gelisah hati saya karenanya.

Sesudah sepuluhan tahun lebih saya bertungkus-lumus dalam ihwal pembangunan sukses, pengembangan SDM, dan khususnya bagaimana memajukan diri dan bisnis, kegelisahan itu semakin memuncak saja di hati dan kemudian berubah menjadi rasa gerah yang tak tertahankan lagi. Intinya, saya ingin menemukan the fundamental principles of success, prinsip-prinsip yang betul-betul paling dasariah, bukan sekadar tips, teknik, atau rumus sukses.

Soalnya, sebagai seorang yang agak terdidik dalam fisika (saya belajar fisika di ITB Bandung dari 1978-1983) saya selalu terobsesi menemukan rumusan paling asasi dari berbagai fenomena. Obsesi seperti ini sangat khas pada para fisikawan. Tak berlebihan jika saya bilang bahwa seluruh sejarah fisika, yang terentang panjang sejak zaman Yunani purba hingga sekarang, adalah rangkaian kisah tiada tara untuk meringkas dan meringkus the most fundamental understanding of the Nature, dan dengan begitu menggelar the most basic formulation semua gejala dan peristiwa alam—baik eksistensinya maupun kelindan interaksinya—mulai dari tingkat supermikro yakni atomos hingga ke level supermakro yakni kosmos.

Satu kisah spektakuler, sebagai contoh, didemonstrasikan pada 1868 oleh James Clerk Maxwell (1831-1879), seorang fisikawan besar putra Skotlandia. Dia berhasil menyatukan semua gejala kelistrikan dan kemagnetan menjadi hanya empat rumusan fundamental saja. Sebelumnya, ratusan fenomena dalam kedua bidang itu telah dikenali secara terpisah-pisah, terpenggal-penggal, dan terserak-serak dalam kurun waktu lebih dari dua milenia. Tersebar demikian, semua fenomena itu seolah tak saling berpilin samasekali. Meski petunjuk keterkaitan mereka tampaknya ada juga, namun juntrungannya sungguh jauh dari benderang. Namun menjelang era Maxwell, tiga fisikawan akbar lainnya tiba pada rumusan yang tampak berkelindan dengan erat. Ketiganya adalah Andre M. Ampere (1775-1836) yang menjelaskan bagaimana arus listrik menimbulkan efek magnetik, Carl F. Gauss (1777-1855) yang merumuskan hubungan antara arus listrik dan medan magnet, serta Michael Faraday (1791-1867) yang memaparkan bagaimana perubahan medan magnet menimbulkan efek listrik.

Maxwell yang memeriksa ketiga rumusan mutakhir ini dengan saksama segera tersentak oleh satu masalah besar: trio formula itu tidak konsisten dengan hukum kekekalan muatan, salah satu kebenaran fisika yang sangat asasi. Menariknya, Maxwell juga segera melihat bahwa ketiga formula itu membayangkan suatu simetri yang amat menggoda. Demi koherensi dan simetri itulah Maxwell berani memperbaiki rumusan Ampere dengan menambahkan sebuah faktor dan menyumbangkan satu rumus buatannya sendiri. Di tangan Maxwell yang dikenal jenius matematika itu, keempat rumusan anyar tersebut diungkapkannya ke dalam formula matematika yang sangat canggih. Maka tampillah empat rumus fundamental baru di bidang elektrika dan magnetika—secara bersama keempatnya kemudian disebut sebagai Persamaan Maxwell—yang berkelindan secara harmonis, bersimetri dengan sempurna, dan bersetia pada hukum kekekalan muatan. Dengan itu pula lahirlah satu terma baru: elektromagnetika.

Yang terasa ajaib, faktor tambahan terhadap rumusan Ampere di atas menyarankan dengan tegas bahwa fenomena elektromagnetik ini juga adalah fenomena gelombang. Sebelumnya, hanya bunyi dan cahaya yang dipahami sebagai gelombang, sedangkan listrik bukanlah gelombang, magnet apa lagi. Tetapi dengan empat persamaan di atas Maxwell bahkan mampu menghitung kecepatan jalar gelombang baru itu.

Lebih mengejutkan lagi: cepat rambat gelombang elektromagnetik ini ternyata sama dengan kecepatan cahaya yang sudah diketahui sejak 1676 berkat jasa Olaus Roemer, seorang astronomiwan berkebangsaan Denmark.

Masih bagaikan mukjizat, kecepatan jalar gelombang elektromagnetik ini ternyata konstan ke segala arah dan independen pula terhadap medan masing-masing. Tegasnya, Maxwell menemukan bahwa gelombang elektromagnetik tidak saja berkelebat dengan kecepatan sinar, tetapi cahaya ternyata adalah fenomena elektromagnetik. Tegas pula bersama itu bahwa kecepatan cahaya adalah sebuah konstanta alam.

Maxwell dengan demikian tidak saja berhasil menyatukan semua fenomena kelistrikan dan kemagnetan tetapi juga mempertemukan keduanya dengan semua gejala optik, sekaligus dan serentak. Berkat jasa Maxwell itu maka dunia pun mahfum bahwa ketiga fenomena alam tersebut adalah aspek-aspek yang berbeda dari eksistensi yang sama: medan elektromagnetik.

Yang dahsyat: semua temuan akbar ini dihasilkannya dari empat persamaan matematika saja tanpa percobaan lapangan. Namun semua eksperimen sesudahnya tidak satu pun yang mampu membantah kebenaran Persamaan Maxwell. Tidaklah mengherankan kalau Maxwell kemudian disebut sebagai fisikawan teori terbesar abad ke-19.

Persamaan Maxwell merupakan salah satu gerbang terpenting yang kelak dilalui oleh para titan fisika abad ke-20—termasuk Einstein yang hingga kini masih diakui sebagai fisikawan paling akbar sepanjang masa— memasuki kompleks istana fisika modern yang didominasi dua bangunan utama: Teori Relativitas dan Teori Kuantum. Dengan itu fisika kemudian tampil meraja dan dengan radikal mengubah wajah peradaban kita melalui berbagai teknologi baru yang berbasiskan padanya atau dimungkinkan olehnya: elektro, elektronika, telekomunikasi, informatika, robotika, pneumatika, transportasi, komputasi, energi nuklir, energi surya, eksplorasi ruang angkasa, dan sebagainya.

Sampai kini pun, para fisikawan masih terus berpeluh untuk menemukan satu atau sehimpunan formulasi ultima yang kiranya dapat menjelaskan segala hal dalam kosmos kita ini. Teori yang sedang dicari itu malah sudah diberi nama yang dahsyat: Teori Segalahal (Theory of Everything).

Mirip seperti itulah yang terjadi ketika saya menghadapi teori-teori sukses yang begitu beragam yang tersebar dalam ribuan buku yang saya baca. Sebaran fenomena dan kepelbagaian rumusan sukses itu buat saya membingungkan. Namun samar-samar saya mendeteksi berbagai keterkaitan di antara mereka meskipun hal-bagaimananya belum jelas. Yang terang, saya menginginkan rumusan paling esensial, paling substansial, paling fundamental dan ultimat, namun mampu menjadi rampatan (generalization) dari semua teori sukses yang pernah ada sejauh ini. Konsep itu juga harus mampu menjadi pilar akbar yang menopang semua jenis dan sistem keberhasilan secara berkelanjutan di semua tingkatan: personal, interpersonal, organisasional, dan sosial, sekaligus dan serentak. Dengan kata lain, saya mencari sehimpunan gagasan konseptual yang kiranya bisa berfungsi sebagai fondasi, solusi, dan strategi sukses yang koheren, simetris, dan komprehensif untuk memajukan individu, profesi, organisasi, masyarakat, suku bangsa, bahkan negara. Singkatnya: saya sedang memburu Teori Segalahal di bidang sukses.

***

Inkoherensi dan parsialitas teori-teori sukses di semua tingkatan menjadi alasan kegelisahan saya yang lain. Sampai saat itu saya sebenarnya telah banyak mengajarkan terutama bagaimana meraih sukses pada tingkat personal: terutama dalam hal finansial, profesional, dan spiritual. Namun, saya melihat betapa banyak ironi dan tragedi sukses ini, terutama sejak Indonesia digempur gelombang krisis finansial pada 1997 yang kemudian menjadi krisis segalahal.

Sukses manajerial dan organisasional semata juga tidak banyak guna. Setelah sekitar sepuluh tahun saya larut berbasah-kuyup membangun sukses di tingkat organisasi, terutama perusahaan, saya merasa tersedak oleh seduhan pahit ketika sejak 1997 banyak klien saya babak-belur bahkan luluh-lantak dihajar krisis. Sontak saya tersadar, betapa dalam suatu sistem politik dan tatanan sosial yang rusak sukses ekonomi pun rusak pula, setidaknya sangat terkendala. Sebagai orang yang selalu merasa peduli pada kondisi masyarakat, bangsa, dan negara, saya juga menemukan diri saya tak kunjung mampu berbicara pada tataran publik, apalagi berbuat agak memadai. Paling-paling saya cuma bisa ngerumpi dan ngrasani republik yang konon saya cintai ini. Dan hal ini sangat tidak memuaskan hati saya. Buat saya, sukses haruslah otentik, koheren, integral, dan holistik, dari hulu hingga ke hilir, dari personal hingga ke nasional, yaitu bahwa kunci-kunci sukses itu harus berkelindan secara harmonis dari tingkat pribadi ke wilayah organisasi terus sampai ke tingkat masyarakat luas.

***

Alasan lain yang tak kalah penting mengapa saya terus bergulat dalam pencarian fundamental sukses ini adalah karena saya sedang mengalami krisis identitas pada 1997 itu. Ketika itu, saya sudah mengantongi delapan lisensi untuk melatihkan program-program Dale Carnegie Training, antara lain Effective Speaking and Human Relations, Leadership Training for Managers, Executive Image Program, High Impact Presentation, dan Sales Advantage, tetapi pasar menganggap kompetensi saya tidak jelas. Terlalu banyak keahlian yang saya kuasai sehingga citra saya justru tidak jelas dan tegas. Bagi saya sungguh jelas, orang yang pernah mengikuti pelatihan yang saya pimpin juga berkata jelas, namun pasar tidak mengakuinya. Istilah sekarang: personal brand saya kabur. Sebab itu, dan karena sejumlah faktor lain, pada 1997 itu juga saya meninggalkan Dale Carnegie Training. Sesuai dengan kontrak, maka saya pun terlarang mengajarkan semua mata pelatihan di atas karena semua lisensi itu batal demi hukum. Terjepit, saya pun sangat membutuhkan mata pelatihan baru, produk baru, untuk selamat dan berlanjut dalam dunia bisnis yang sudah saya gauli sampai mendalam lebih daripada sepuluh tahun.

Maka saya berada dalam dalam kondisi di mana ungkapan necessity is the mother of invention pas betul buat saya. Saya serasa hamil tua dengan suatu gagasan yang makin mendesak hendak membrojol. Saya merasa, tak lama lagi sebuah produk, sebuah program, segera lahir. Dengan semua itu maka lengkaplah himpunan alasan obyektif di kepala saya yang kemudian menumpahkan lahar motivasi subyektif di hati saya untuk menciptakan dan melahirkan sesuatu.

***

Sesudah meraba-raba dengan intuisi, menimbang-nimbang dengan hati, berdiskusi intensif dengan sejumlah kawan, menganalisis dan merancang konsep, menata berbagai ide dan pikiran, serta bergulat dengan banyak sekali gagasan, maka pada 1998 terciptalah konsep etos kerja. Bersamaan dengan itu lahir pula versi pertama buku etos kerja saya. Mengapa 'etos' dan apa yang dimaksudkan dengan kata kunci ini akan saya terangkan tersendiri di artikel lain.

Sebelumnya, ketika coba menemukan dan merumuskan unsur fundamental dalam ratusan rumusan, teknik atau strategi mencapai kesuksesan, saya menemukan ada tiga unsur saja yang memenuhi syarat:

1. Mencetak prestasi dengan motivasi akbar. Dengan ketrampilan dan pengetahuan yang sama, maka motivasi akbar menjadi faktor pembeda utama. Jika dari seratus orang pekerja lulusan SD ada satu orang yang bermotivasi akbar maka dia akan unggul dibandingkan dengan yang sembilanpuluh sembilan. Demikian juga jika dari sepuluh orang atlit kelas dunia ada satu orang yang bermotivasi lebih akbar maka dia akan unggul dibandingkan dengan sembilan rivalnya. Jadi, motivasi merupakan tiket menuju stadion prestasi. Prestasi juga berarti mutu tinggi. Mutu adalah satu-satunya kata kunci agar kita berkenan kepada Tuhan, atasan, sejawat, dan pelanggan; dalam hal ini yang dimaksud adalah mutu ibadah, mutu amal saleh, mutu pekerjaan, mutu perilaku, mutu produk, mutu pengelolaan, mutu pelayanan, dan mutu relasi kita.

2. Membangun masa depan dengan kepemimpinan visioner. Sukses selalu dikaitkan dengan aspirasi, cita-cita, impian, yang kemudian mewujud menjadi visi, misi, atau purpose of life. Kepemimpinan visioner adalah cara kita mewujudkan apa yang kita bayangkan bisa terjadi atau harus terjadi. Yang dimaksud dengan kepemimpinan di sini tidak terbatas pada organizational leadership tetapi terutama self-leadership. Kepemimpinan visioner adalah piranti utama untuk mewujudkan impian menjadi kenya-taan, cita-cita menjadi realita, misi menjadi kondisi.

3. Mencipta nilai baru dengan inovasi kreatif. Produksi dan sajian nilai yang kita buat melalui prestasi dan visi pada suatu saat pasti mengalami keusangan karena pesaing kita menyajikan nilai yang lebih bagus. Jadi kita harus mampu memperanyar sajian nilai kita agar tetap segar dan mekar menuju puncak terbaiknya. Di sinilah inovasi kreatif menjadi modal utama kita.

Ketiga unsur dasar ini saya sebut sebagai Tri Darma Mahardika yang berakar pada bahasa Sanskerta yang artinya Tiga Jalan Keberhasilan. Menurut kamus Wojowasito, mahardhika artinya sangat bijaksana, sangat kuat, sangat kaya. Ketika membolak-balik kamus saya terkejut menemukan arti ini, suatu kata yang mengandung tiga pengertian yang sepintas tidak berhubungan. Namun, seberkas terang memasuki ruang batin saya sehingga akalbudi saya terterangi cerah. Saya mengerti: mahardika berarti bahwa kebijaksanaan adalah pangkal kekuatan yang otentik, kemudian berdahanranting dalam berbagai kekayaan, serta berbuahkan rupa-rupa kemerdekaan. Ya, kata merdeka bermula dari kata mahardhika, kemudian berubah menjadi mardika, lalu akhirnya jadi merdeka. Dalam bahasa Inggris tak ada sepatah kata pun yang mampu memuat makna wisdom, strength, wealth, freedom sekaligus. Saya kagum sendiri pada kata Sanskerta yang satu ini. Jelas bahwa kata mahardhika jauh lebih kaya makna dibandingkan dengan kata sukses. Maka lahirlah Institut Darma Mahardika. Karena berbagai pertimbangan institut ini kami putuskan sebaiknya bernaung di bawah suatu lembaga bisnis. Maka lahirlah PT Spirit Mahardika pada tahun 1998 itu.

Persoalan saya dengan konsep Tri Darma Mahardika di atas ialah bahwa ketiga rumusan itu tidak memenuhi syarat koherensi dan simetri. (Baca: Vektor, Fraktal, dan Delapan Etos). Belakangan, tiba-tiba saya menyadari bahwa di lapisan paling luar apa yang disebut sebagai kunci-kunci sukses, termasuk Tri Darma Mahardika di atas, ternyata tak lain tak bukan adalah sejumlah perilaku positif. Menyadari hal itu maka saya segera mendaftarkan semua perilaku sukses yang dianjurkan oleh buku-buku bacaan saya. Ratusan jumlahnya. Daftar ini kemudian saya tata menurut jenisnya, lalu saya mampatkan dan rampatkan. Akhirnya saya menemukan delapan pasang perilaku utama sukses yang sejati, yaitu mahardika, yang diterapkan melalui dan di dalam setiap peristiwa kerja, yakni bahwa:

• Kita harus mampu bekerja tulus penuh rasa syukur.
• Kita harus mampu bekerja benar penuh rasa tanggungjawab.
• Kita harus mampu bekerja tuntas penuh integritas.
• Kita harus mampu bekerja keras penuh semangat.
• Kita harus mampu bekerja serius penuh kecintaan.
• Kita harus mampu bekerja cerdas penuh kreativitas.
• Kita harus mampu bekerja tekun penuh keunggulan.
• Kita harus mampu bekerja paripurna penuh kerendahan hati.

Saya melihat bahwa Tri Darma Mahardika telah mewajah ke dalam delapan perilaku kerja di atas, bahkan lebih lagi, sehingga saya pun semakin antusias. Namun, ada satu masalah lagi yang menghadang. Saya amati, meskipun orang tahu apa yang seharusnya dilakukan, sebaiknya dikerjakan, seyogianya dijalankan, namun ternyata orang tidak melakukannya juga, entah karena tidak serius, tidak tahu, atau tidak mau. Saya sadari sejak lama, faktor inilah yang membuat manusia susah sekali berubah dan berkembang. Di intinya, terdapat kengganan besar yang berurat-berakar pada diri manusia: kelembaman mental yang membatu, kemalasan intelektual yang mencandu, kedegilan moral yang membeku, dan kegelapan spiritual yang menghantu.

Sebagai konsultan, guru, dan instruktur saya selalu bertemu dengan "setan belang" ini, baik di dalam kelas, di ruang kerja, dan di rapat-rapat organisasi. Ketika masih mahasiswa, saya mula-mula mencermatinya, lalu terpana heran melihat jurang amat senjang antara wacana Pancasila yang besar-besaran ditatarkan dan perilaku lapangan para pesertanya—bahkan para manggalanya, terutama—di semua pentas kekuasaan.

Sesudah mencari lebih jauh, saya merasa menemukan jawabannya. Sebab singkatnya: orang tidak sungguh-sungguh percaya pada "hal yang baik" tersebut. Niat baik, kehendak baik, keinginan baik, ternyata tidak cukup. Banyak orang bahkan melarikan dari dari kehendak baiknya untuk kemudian, ironisnya, di ujung sana, teringkus dalam jaring "kebodohan" yang membelenggu dan melumpuhkan.

Jadi untuk berubah, bertumbuh dan berkembang, orang harus percaya dulu secara genuine pada sesuatu–apakah gagasan, nilai, atau ajaran luhur–barulah sesudahnya dia melakukan hal tersebut. Tidak usah dipaksa-paksa, diiming-iming, atau dirayu-rayu, dia pasti melakukannya. Jika misalnya orang sangat percaya kepada dukun maka orang itu pasti mendatangi dukun jika sakit, bukannya ke dokter. Misal lain, jika orang tidak yakin pada manfaat bersekolah, maka sedikit saja menemui hambatan orang itu pasti berhenti sekolah, lalu biasanya, terjun ke dunia cari uang. Sekaligus, saya menemukan the power of belief buat saya sendiri.

Jadi, bagaimana agar kedelapan pasang perilaku kerja di atas dilakukan orang? Jelas sekarang, orang harus percaya dulu pada paradigma kerja yang membuahkan perilaku kerja tersebut. Oleh karena itu saya membutuhkan delapan paradigma kerja yang sudah terbukti secara universal diterima, dimana buah-buah utamanya adalah delapan perilaku kerja tadi. Dengan proses yang sama, maka saya pun menemukan delapan paradigma tersebut. Kini lengkaplah formulasi etos kerja yang saya cari:

Etos 1. Kerja adalah rahmat: Aku bekerja tulus penuh rasa syukur.
Etos 2. Kerja adalah amanah: Aku bekerja benar penuh rasa tanggungjawab.
Etos 3. Kerja adalah panggilan: Aku bekerja tuntas penuh integritas.
Etos 4. Kerja adalah aktualisasi: Aku bekerja keras penuh semangat.
Etos 5. Kerja adalah ibadah: Aku bekerja serius penuh kecintaan.
Etos 6. Kerja adalah seni: Aku bekerja cerdas penuh kreativitas.
Etos 7. Kerja adalah kehormatan: Aku bekerja tekun penuh keunggulan.
Etos 8. Kerja adalah pelayanan: Aku bekerja sempurna penuh kerendahan hati

Ketika delapan ungkapan etos ini saya tampilkan dalam format geometris, dalam hal ini oktagon, tampaklah semuanya tertata secara koheren, simetris, dan komprehensif. Demikian pula secara linguistik. Maka hati saya pun merasa puas dan bahagia.

Tidak ada komentar: